Anak adalah Anugerah

Blog ini masih dalam tahap penyempurnaan silahkan memberi masukan dan saran ke alamat email musabaa@yahoo.com.

Kekasih Hati

Blog ini masih dalam tahap penyempurnaan silahkan memberi masukan dan saran ke alamat email musabaa@yahoo.com.

Pesona Sulawesi Tengah

Blog ini masih dalam tahap penyempurnaan silahkan memberi masukan dan saran ke alamat email musabaa@yahoo.com

Pantai Panjang Bengkulu

Blog ini masih dalam tahap penyempurnaan silahkan memberi masukan dan saran ke alamat email musabaa@yahoo.com.

ini Medan bung...!

Blog ini masih dalam tahap penyempurnaan silahkan memberi masukan dan saran ke alamat email musabaa@yahoo.com.

Sabtu, 03 Maret 2012

Keikhlasan, Saat Dirimu Merasa Tidak Lebih Baik daripada Orang Lain


dakwatuna.com - (David Hadi) Melakukan keikhlasan, tidaklah semudah mengatakannya. Sebagaimana pernah diakui oleh seorang ulama besar Sufyan ats-Tsauri, beliau berkata, “Tidak ada suatu perkara yang paling berat bagiku untuk aku obati daripada meluruskan niatku, karena niat itu bisa berubah-ubah terhadapku.”
Namun, bukan berarti ikhlas itu tidak dapat dilakukan, dan bukan berarti ikhlas tidak dapat diusahakan. Karena ikhlas adalah suatu ‘ilmu’. Ilmu di mana kita dapat mempelajarinya, dan terus mempelajarinya, sampai akhirnya kita benar-benar paham akan makna ikhlas. Ikhlas itu sendiri merupakan hal yang amat sakral, ia adalah perintah dan ia adalah syarat diterimanya suatu ibadah.
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Memang benar, ikhlas adalah rahasia, rahasia dalam hati masing-masing insan. Dan ikhlas adalah rahasia dari rahasia yang teramat lembut, sehingga samar dari dugaan semua yang hidup. Begitu samar dan tersembunyi, sehingga sulit bagi diri seseorang atau orang lain untuk mengukur kemurniannya. Dalam hadits Rasulullah SAW dikatakan:
Keikhlasan adalah rahasia yang diambil dari rahasia-rahasia-Ku. Aku telah menempatkannya sebagai amanat di hati sanubari hamba-hamba-Ku yang Aku Cinta.” (HR. al-Qazwaini)
Hasan al-Banna pernah berkata tentang makna ikhlas, “Ikhlas adalah seorang saudara muslim yang bermaksud dengan kata-katanya, amalnya, dan jihadnya, seluruhnya hanya kepada Allah, untuk mencari ridha Allah dan balasan yang baik dari Allah dengan tanpa melihat kepada keuntungan, bentuk, kedudukan, gelar, kemajuan, atau kemunduran. Dengan demikian ia menjadi tentara aqidah dan fikrah dan bukan tentara keinginan atau manfaat.”
Salah satu sebab jauhnya diri kita dari ikhlas ialah sifat ‘ujub, sifat berbangga diri yang berlebihan, dan menganggap orang lain tidak lebih baik dari diri kita. Sifat ini yang sering muncul tanpa kita sadari, yang mampu merobek-robek keikhlasan dalam diri kita. Ia yang mampu menodai kemurnian ikhlas dalam hati dan ia yang mampu mengotori hati dengan lendir-lendir kenistaan.
Tentunya kita tak ingin, keikhlasan yang ada di dalam hati ini, keikhlasan yang selalu kita jaga ini, ternodai dan bahkan terkotori. Dan hal yang dapat kita lakukan untuk menjaga keikhlasan adalah dengan menghapus sifat ‘ujub itu dari dalam hati, membuangnya jauh-jauh tanpa tersisa. Dimulai dengan hal yang kecil dan sederhana, yaitu anggaplah orang lain lebih baik daripada diri kita, anggaplah ia lebih mulia di sisi Allah.
Jikalau kita melihat seseorang yang lebih muda daripada kita, maka hendaklah kita berkata, “Anak ini masih muda usianya, belum banyak berbuat dosa dan bermaksiat kepada Allah, sedangkan aku yang sudah lebih tua darinya tentu telah banyak berbuat dosa dan bermaksiat kepada Allah. Maka tiada keraguan lagi bahwa ia lebih baik daripada aku di sisi Allah.”
Jikalau kita melihat seseorang yang lebih tua daripada kita, maka hendaklah kita berkata, “Orang tua ini sudah beribadah kepada Allah lebih dahulu daripada aku, maka tiada keraguan lagi bahwa ia lebih banyak pahalanya, lebih mulia daripada aku di sisi Allah.”
Manakala kita melihat orang alim, maka hendaklah kita berkata, “Orang alim ini telah dikaruniakan kepadanya bermacam-macam pemberian ilmu yang tidak dikaruniakan kepadaku. Ia telah sampai ke martabat yang aku tak sampai kepadanya, dan ia mengetahui berbagai masalah yang tak aku ketahui, maka bagaimana aku bisa sepertinya sedangkan diriku masih bergelimang dengan dosa dan maksiat?”
Bila kita melihat orang yang bodoh, maka hendaklah kita berkata, “Orang ini bodoh lantas ia berbuat maksiat kepada Allah dengan kejahilannya, tetapi aku berbuat maksiat dengan ilmuku, dengan kesadaranku, maka bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah nanti?”
Saat kita menyaksikan orang fasik atau ahli maksiat, maka hendaklah kita berkata, “Benar orang ini jasadnya bergelimang dalam kemaksiatan dan dosa, tapi siapa yang tahu kalau sebenarnya hatinya selalu benci pada kemaksiatan yang ia lakukan, dan bersamaan dengan itu ia tetap mengagungkan Tuhannya. Terbuka kemungkinan suatu saat nanti ia bertaubat dan menyesali perbuatannya, lalu ia melakukan amal shalih yang nilainya lebih tinggi di mata Allah daripada aku. Sedangkan aku sendiri sampai saat ini dan nanti, tidak pernah tahu apakah ketaatanku itu diterima oleh Allah atau tidak. Dan aku juga tidak pernah mengetahui apa yang akan terjadi pada diriku esok hari.”
Di kala kita melihat orang kafir, maka hendaklah kita berkata, “Aku tidak tahu, kemungkinan orang kafir ini akan beriman, memeluk agama Islam dan akhirnya mempunyai husnul khatimah, sedangkan aku tidak tahu apakah akan bisa menjaga keimanan ini hingga akhir hayat dan mendapatkanhusnul khatimah?”
Pertanyaan seperti ini bukan mengada-ada, tapi pasti dan yakin. Karena jika kita bertanya, siapakah yang dapat memastikan kalau kita dapat menjaga keimanan ini hingga akhir hayat, lalu kita memperoleh husnul khatimah? Siapa yang bisa tahu secara pasti kalau dirinya pasti diampuni oleh Allah? Siapakah yang dapat menjamin kalau diri kita pasti selamat di akhirat? Semua itu adalah rahasia Allah, yang tiada seorang pun yang dapat mengetahuinya. Bahkan beliau, Rasulullah SAW berkata:
Katakanlah: Aku tidak mengatakan padamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah, ‘Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?’ Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (QS. Al-An’aam: 50)
Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-‘Araaf: 188)
Referensi: Mahmud Ahmad Mustafa, Dahsyatnya Ikhlas.

Selasa, 06 September 2011

JENANG KUDUS



Tahun ini, alhamdulillah Allah mengabulkan do'a saya, setahun yang lalu saat saya menonton info mudik di televisi, rasa hati begitu menggebu ingin membersamai keletihan para mudikers dalam ritual tahunannya.
Tiga bulan yang lalu, alhamdulillah saya dapat pekerjaan di Jakarta dan berkesempatan untuk mudik. Keletihan yang mendera saat selama 22 jam di dalam bis, bercampur dengan mual-mual perut hilang sudah saat berkumpul dengan keluarga, bersilaturrahim dan berbagi rizki, ah... indahnya.....
Saat kembali ke Jakarta, hhhmm,.... saat yang sangat mengharu biru, mampir ke toko deket Menara Kudus membeli oleh-oleh buat temen-temen di kantor, soalnya mereka sudah mengultimatum.. awas nggak bawa oleh-oleh nggak boleh masuk Jakarta.

Jenang Kudus

Salah satu produk khas Kudus adalah Jenang, sebuah panganan tradisional yang bisa bertahan puluhan tahun, hingga saat ini. Produknya menarik dan praktis untuk dibawa, rasa manis, bungkus yang menarik dan harga yang relatif terjangkau serta packing yang tidak kalah dengan produk sejenis.

Proses produksi, adonan bahan tradisional mudah dikerjakan walau secara manual dan mempekerjakan SDM yang relatif banyak.
Rasanya promosi dan outlet penjualannya yang belum ditata secara modern, namun pernah saya melihat promo di jenang Mubarok telah di eksport hingga ke Singapura dan Hongkong.
Taqobbalallahu Minna Wa Minkum
Minal Aidin wal Faizin
Mohon Maaf Lahir dan Batin

Minggu, 20 Maret 2011

Breaking The Time


Judul buku : Breaking The Time; Kiat Memaksimalkan Keterbatasan Waktu Agar Hidup Lebih Dahsyat
Penulis : Satria Hadi Lubis
Penerbit : Pro You (Kelompok Pro U Media) Yogyakarta
Tahun Terbit : November 2010
Tebal : 126 hlm

Adakah "hukum" yang sama bagi orang-orang sukses yang bisa dipelajari oleh orang lain secara mudah dan praktis? Satria Hadi Lubis memastikan bahwa "hukum" itu ada. Salah satunya –bahkan intinya- adalah pengaturan waktu yang efektif. Managemen waktu. Sayangnya, banyak orang yang tidak mampu melakukannya.

Sebagian orang mungkin telah mempelajarinya melalui membaca buku tentang itu. Namun, banyak buku tentang managemen waktu yang terlalu teoretis. Karena itulah Satria Hadi Lubis menulis buku ini.

Sesuai dengan judulnya, setelah membaca Breaking The Time, diharapkan pembaca mampu mendobrak keterbatasan waktu dan memperoleh keberlimpahan waktu. Tampaknya, harapan ini sangat mungkin tercapai. Sebab, nyatanya, buku yang diterbitkan oleh Pro You (Kelompok Pro U Media) ini berisi panduan step by steptentang manajemen waktu. Mulai dari hal yang paling mendasar, yakni mendefinisikan misi hidup, lalu menentukan peran, visi peran sampai pada teknis pembuatan rencana pekanan dan rencana harian.

Misi Hidup
Konsep Manajemen Waktu Breaking The Time dimulai dari misi hidup. Dalam pandangan Satria Hadi Lubis, misi hidup sangat penting untuk, tidak hanya dibuat, tetapi juga dituliskan lalu dipasang di tempat strategis agar bisa dibaca setiap saat, lalu terinternalisasi dan menjadi pikiran bawah sadar.

Bagi Anda yang telah membaca buku Anis Matta, khususnya Delapan Mata Air Kecemerlangan, istilah "misi hidup" Satria Hadi Lubis tidak sama persis dengan yang dimaksudkan Anis Matta. Karenanya, ia juga berbeda secara mendasar pada bagaimana "memunculkan" misi hidup itu. Anis Matta mengatakan bahwa misi hidup –dalam Islam- bersifat given. Manusia muslim hanya perlu menyadarinya, bukan memformulasikannya. Satria Hadi Lubis dalam Breaking The Time ini justru merekomendasikan pembaca untuk membuat misi hidup. Jika kita amati, perbedaan itu terletak pada keumuman "misi hidup" yang dimaksudkan Anis Matta. Sedangkan Satria Hadi Lubis telah memasukkan unsur peran dalam rumusan misi hidup. Artinya, peran apa yang akan diambil dalam menjalankan misi besarnya sebagai hamba Allah. Pada titik ini, meskipun istilahnya berbeda, sebenarnya Anis Matta dan Satria Hadi Lubis tidak berseberangan.

Misi Hidup menurut Breaking The Time haruslah positif. Misi hidup Anda perlu mencakup jawaban dari enam pertanyaan; siapa Anda, mengapa Anda ada, Apa keunggulan Anda, untuk siapa Anda bekerja, apa produk/hasil kerja Anda, dan di mana Anda mengerjakannya.

Menentukan Peran
Setelah membuat dan menuliskan misi hidup, selanjutnya Anda perlu menentukan peran. Saat ini, tidak satupun manusia yang memiliki peran tunggal. Andapun pasti demikian. Untuk menentukan peran Anda perlu menginventarisir seluruh peran dan kemudian menyeleksinya. Misalnya sebagai karyawan, pengurus yayasan, anggota parpol, suami, ayah, anak (dari orang tua Anda yang masih hidup), anggota masyarakat, sekaligus penulis. Inventarisir semua peran itu. Kemudian seleksi. Jika ada yang tidak sesuai misi hidup, peran itu perlu dibuang. Jika ada yang memiliki kesamaan atau serumpun, peran-peran itu bisa disatukan. Misalnya peran sebagai suami, ayah, dan anak bisa disatukan menjadi peran keluarga.

Visi Peran
Langkah Breaking The Time berikutnya adalah menentukan visi peran. Visi peran ini perlu dibuat dengan sebuah –atau beberapa- kalimat yang terukur, fleksibel, dapat dicapai, jelas, dan singkat. Visi peran perlu dievaluasi dalam rentang waktu tertentu. Satria Hadi Lubis merekomendasikan tiga bulan atau enam bulan.

Rencana Pekanan
Setelah setiap peran Anda memiliki visi yang jelas, kini saatnya Anda memasukkannya dalam sasaran jangka menengah. Alatnya adaah rencana pekanan. Bagi Anda yang telah membaca buku 7 Habits of Highly Effective People, model rencana pekanan Breaking The Time tidak jauh dari itu. Pada lembar kerja itu ada kolom peran, prioritas pekanan, prioritas hari ini, dan jadwal kegiatan.

Setiap kegiatan atau agenda yang diisikan dalam rencana pekanan, semuanya harus mengacu kuadran II. Setidaknya kuadran IV. Pada matriks manajemen waktu, Satria Hadi Lubis membaginya menjadi enam kuadran. Jika pada 7 Habits of Highly Effective People Stephen R. Covey membagi menjadi empat kuadran: Penting - Mendesak, Penting - Tidak Mendesak, Tidak Penting – Mendesak, dan Tidak Penting – Tidak Mendesak,Breaking The Time membaginya begini; Sesuai Misi Hidup dan Visi Peran – Mendesak, Sesuai Misi Hidup dan Visi Peran – Tidak Mendesak, Sesuai Misi Hidup Tidak Sesuai Visi Peran – Mendesak, Sesuai Misi Hidup Tidak Sesuai Visi Peran – Tidak Mendesak, Tidak Sesuai Misi Hidup dan Visi Peran – Mendesak, serta Tidak Sesuai Misi Hidup dan Visi Peran – Tidak Mendesak.

Rencana Harian
Langkah terakhir dari manajemen waktu dalam Breaking The Time adalah membuat rencana kerja harian. Ia lebih detail dari rencana pekanan, sekaligus tidak boleh diisi dengan hal yang umum. Misalnya: "bekerja". Namun harus pada detail pekerjaannya. Misalnya: "membuat surat kontrak", atau "menemui klien untuk kerja sama X".

Jika rencana pekanan direkomendasikan dibuat pada hari Ahad, maka rencana harian direkomendasikan dibuat sebelum tidur atau pagi hari sebelum berangkat kerja.

Bukan Teori, Ini Buku Panduan
Meskipun tergolong tipis -126 halaman dengan ukuran 12 x 20 cm- buku Breaking The Time memuat banyak informasi penting seputar manajemen waktu sekaligus memberikan motivasi agar kita mampu memanfaatkan waktu dengan tepat. Nilai lebih buku ini tentu saja terletak pada muatannya yang bersifat panduan praktis. Dengan bahasa yang ringan disertai gambar-gambar ilustrasi menarik dan contoh tabel rencana pekanan dan rencana harian serta matriks, langkah-langkah Breaking The Time menjadi sangat mudah untuk dimengerti. Selanjutnya, selamat membaca sendiri bukunya dan semoga menjadi pendobrak keterbatasan waktu.... mukhlisindotblogspot

Senin, 22 November 2010

Memupuk Mimpi Buah Hati




Merasa menjadi paling realistis, kita kerap membunuh impian anak-anak. Merasa telah banyak makan asam garam kehidupan, kita sering membonsai cita-cita buah hati kita. “Itu mustahil, Nak”, “Cita-citamu itu terlalu tinggi”, “Impianmu itu takkan pernah tercapai”, dan kalimat senada, mungkin pernah kita ucapkan.

Kita mungkin lupa, bahwa komentar-komentar negatif kita tentang cita-cita anak mencipta bekas yang sulit diobati. Kita mungkin tidak sadar, kata-kata meremehkan yang keluar dari lisan kita telah membuat jutaan sel otaknya mati. Jadilah anak tumbuh dalam suasana pesimis. Merasa rendah diri. Tidak pantas melakukan pekerjaan-pekerjaan besar.

Barangkali kita juga tidak ingat, bahwa impian-impian besar anak-anak kita bisa menjadi nyata ketika kita memupuk mimpi-mimpi itu. Mungkin bukan semuanya, tapi salah satunya.

Sewaktu kecil, Vettel mengidolakan “Trio Michael”; Michael Jordan, Michael Jackson, dan Michael Schumacher. Ia ingin menjadi ketiganya; pebasket dunia, penyanyi legendaris, dan pembalap hebat. Ayah Vettel, Norbert, dan ibunya, Heike, tidak ingin mematikan mimpi itu dengan menertawakannya. Mereka memberi ruang agar mimpi Vettel tumbuh dalam jiwanya; menjadi cita-cita, menggerakkan langkah demi langkah untuk mengubahnya menjadi nyata. Meskipun mereka tahu postur Vettel tidak mendukung untuk basket, suaranya juga tidak cukup menjadi modal sebagai penyanyi. Belakangan, Vettel juga menyadarinya. Dari sana impiannya lebih fokus: menjadi pembalap nomor satu!

Bukan sekedar membiarkan impian anaknya tidak mati, Norbert memupuk impian itu agar tumbuh besar. Diantara hal yang paling diingat Vettel kelak adalah hadiah gokar Bambini 60 cc yang diterimanya dari sang ayah saat usianya baru tiga tahun. Vettel bukan hanya mendapat ruang. Ia mendapat dukungan. Ia memperoleh motivasi. Keyakinannya menancap kuat. “Aku pasti bisa!”

Impian yang diucapkan anak kecil lebih dari dua dasawarsa sebelumnya itu menjadi kenyataan seminggu lalu. 14 November 2010, tepat pada usia 23 tahun 134 hari, Sebastian Vettel menjadi juara dunia F1 termuda sepanjang sejarah setelah memenangi balapan di Abu Dhabi. Kini ia juga dijuluki sebagai “Baby Schumi” atau “Michael Schumacher Baru”. Subhaanallah, betapa persis dengan impiannya.

Dunia Islam dewasa ini juga memiliki tokoh besar yang berangkat dari impian di masa kecil. Namanya Ahmad Zewail. Seorang doktor yang menjadi salah satu ilmuwan besar dunia. Pada tahun 1999, DR. Ahmad Zewail meraih penghargaan Nobel bidang kimia. Memaparkan prestasinya, Saudi Aramco World menulis executive summarybegini: “Born in the Nile Delta, Ahmed Zewail became the first scientist to record molecules while they were undergoing chemical reactions that take place in a few millions of a billionth of a second. This established the field of femthochemistry and earned him the 1999 Nobel Prize in Chemistry. In November, he was appointed one of the first three us Science Envoys to Middle East.”

Satu hal yang perlu dicatat, sang ibu menumbuhkan dan memupuk impian Ahmad Zewail sejak dini. Yang paling berkesan, sejak masih anak-anak pintu kamar Zewail diberi papan bertuliskan: Kamar DR. Ahmad Zewail. Subhaanallah, betapa impian itu kini menjadi nyata.

Anak-anak kita mungkin memiliki impian yang setara dengan Sebastian Vettel atau Ahmad Zewail. Atau bahkan melebihi itu semua. Berbahagialah. Itu hal yang baik. Semestinya ada. Sangat tidak tepat jika kita justru mewariskan kerdil obsesi yang menjangkiti banyak orang dewasa. Bukankah manusia hanya akan mengusahakan hal-hal yang dianggap mungkin oleh pikirannya? Maka impian tinggi buah hati kita akan meninggikan kualitasnya, insya Allah. “Sesungguhnya,” kata M. Lili Nur Aulia dalam Mimpi-mimpi Besar, “mimpi dan obsesi seseorang yang besar, indikator ia akan menjadi orang yang besar.”

Selama impian itu tidak salah dalam standar keimanan, kita hanya perlu memupuknya. Memotivasinya, mendukungnya, dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mencoba. “Ketika kita memberi anak kesempatan untuk mencoba,” M. Fauzil Adhim meyakinkan dalam Saat Berharga untuk Anak Kita, “hasilnya sangat menakjubkan.” Wallaahu a’lam bish shawab. [Muchlisin]

Artikel ini juga dimuat di www.alummahgresik.com]

Selasa, 19 Oktober 2010

Mengatasi Suami Marah ala Aisyah





Orang yang cerdas intelektual tidak selalu cerdas secara emosional. Kecepatan seseorang dalam belajar pengetahuan baru, menghafal teks, atau menemukan teori baru tidak selalu berbanding lurus dengan kepandaiannya menjalin hubungan dengan sesama. Termasuk dalam kehidupan keluarga.

Kecerdasan intelektual adalah anugerah bagi orang yang memilikinya. Namun pada saat yang sama ia akan menjadi ujian dalam menjaga keharmonisan rumah tangga. Itu bagi orang yang kecerdasan intelektual menjadikannya angkuh kepada pasangan hidup yang taraf kecerdasannya dianggap lebih rendah. Meskipun sebenarnya suami istri sama-sama cerdas. Fakta banyaknya pasangan keluarga yang berpisah dari kalangan terdidik membuktikannya. 


Lain ceritanya jika kecerdasan intelektual itu justru “dimanfaatkan” untuk menjaga langgengnya hubungan.

Suatu hari pada giliran Aisyah, Rasulullah berbaring dengan membuka baju luarnya. Aisyah tampaknya juga sudah tidur. Tiba-tiba Rasulullah bangun dan mengenakan kembali baju luarnya. Keluar dengan pelan-pelan.

Melihat itu Aisyah bangkit. Ia memakai penutup kepala dan mengarungkan kain sarung. Menyamar. Membuntuti Rasulullah.

Ternyata Rasulullah pergi ke makam Baqi’. Di sana beliau berdiri lama, mengangkat tangannya tiga kali, kemudian membalikkan tubuhnya. Agar tidak ketahuan, Aisyah segera kembali. Rasulullah berusaha mengejar. Beliau mempercepat jalannya. Aisyah juga mempercepat jalannya. Rasulullah setengah berlari. Aisyah juga. Rasulullah berlari, Aisyah berlari lebih cepat hingga tiba di rumah lebih dulu. Pura-pura tidur.

“Ada apa denganmu wahai Aisy, mengapa nafasmu tersengal-sengal?” Tanya Rasulullah ketika sudah tiba di kamar.
“Tidak apa-apa wahai Rasul”, jawab Aisyah setenang mungkin.
“Engkau mau memberi tahu akau, atau Allah yang akan memberi tahu?”
“Wahai Rasulullah, biarlah ayah dan ibuku sebagai tebusanmu,….” Aisyah pun menceritakan semuanya.
“Jadi bayangan hitam itu adalah dirimu?” Tanya Rasulullah memastikan.
“Benar”
“Apakah engkau mengira Allah dan Rasul-Nya akan menzalimimu?” nada suara Rasulullah terdengar marah, “Sesungguhnya, saat engkau melihatku melakukan semua itu, Jibril datang padaku. Ia memanggilku dengan suara yang tidak engkau dengar, lalu aku menjawab tanpa terdengar olehmu. Jibril tidak mungkin masuk, karena engkau telah siap-siap tidur. Saat itu aku mengira engkau telah lelap. Aku khawatir mengganggu tidurmu dan mengagetkanmu. Jibril berkata padaku, ‘Sesungguhnya Tuhanmu menyuruh engkau dating ke pekuburan Baqi’ untuk memohonkan ampunan bagi orang-orang yang telah dikubur di sana.’”
“Lantas apa yang harus aku katakana jika dating ke kuburan?” Tanya Aisyah mengalihkan pembicaraan.
“Katakanlah, ‘Kesejahteraan bagimu wahai para penghuni kubur yang terdiri dari orang-orang mukmin dan muslim. Semoga Allah mengasihi semua yang telah mendahului dan yang akan menyusul di kemudian hari diantara kita. Dan sesungguhnya insya Allah kami akan menyusul kalian’.”

Betapa cerdasnya Aisyah! Dan betapa hebatnya ketika ummul mukminin ini menggunakan kecerdasannya untuk meredakan marah Rasulullah. Sang Rasul tidak jadi marah, karena beliau perlu menjawab pertanyaan agama yang diajukan Aisyah.

“Ketika Aisyah tahu bahwa Rasulullah marah kepadanya”, kata Mahmud Al-Misri ketika menjelaskan hadits riwayat Muslim ini, “maka ia berusaha mengalihkan pembicaraan tentang faktor yang memicu kemarahan beliau kepadanya.”

“Hendaknya,” nasehat beliau dalam buku yang sama: 
Shahaabiyyat Haular Rasul, “setiap wanita muslimah mengambil pelajaran dari kisah ini. Yakni jika ia mendapati suaminya marah karena suatu perkara, alihkanlah pokok bahasan ke hal lain untuk mengatasi amarahnya, dan agar kehidupan rumah tangga terus berlanjut dengan penuh kasih, keharmonisan, cinta, dan sayang.”
muchlisin.blogspot.com