Anak adalah Anugerah

Blog ini masih dalam tahap penyempurnaan silahkan memberi masukan dan saran ke alamat email musabaa@yahoo.com.

Kekasih Hati

Blog ini masih dalam tahap penyempurnaan silahkan memberi masukan dan saran ke alamat email musabaa@yahoo.com.

Pesona Sulawesi Tengah

Blog ini masih dalam tahap penyempurnaan silahkan memberi masukan dan saran ke alamat email musabaa@yahoo.com

Pantai Panjang Bengkulu

Blog ini masih dalam tahap penyempurnaan silahkan memberi masukan dan saran ke alamat email musabaa@yahoo.com.

ini Medan bung...!

Blog ini masih dalam tahap penyempurnaan silahkan memberi masukan dan saran ke alamat email musabaa@yahoo.com.

Senin, 22 November 2010

Memupuk Mimpi Buah Hati




Merasa menjadi paling realistis, kita kerap membunuh impian anak-anak. Merasa telah banyak makan asam garam kehidupan, kita sering membonsai cita-cita buah hati kita. “Itu mustahil, Nak”, “Cita-citamu itu terlalu tinggi”, “Impianmu itu takkan pernah tercapai”, dan kalimat senada, mungkin pernah kita ucapkan.

Kita mungkin lupa, bahwa komentar-komentar negatif kita tentang cita-cita anak mencipta bekas yang sulit diobati. Kita mungkin tidak sadar, kata-kata meremehkan yang keluar dari lisan kita telah membuat jutaan sel otaknya mati. Jadilah anak tumbuh dalam suasana pesimis. Merasa rendah diri. Tidak pantas melakukan pekerjaan-pekerjaan besar.

Barangkali kita juga tidak ingat, bahwa impian-impian besar anak-anak kita bisa menjadi nyata ketika kita memupuk mimpi-mimpi itu. Mungkin bukan semuanya, tapi salah satunya.

Sewaktu kecil, Vettel mengidolakan “Trio Michael”; Michael Jordan, Michael Jackson, dan Michael Schumacher. Ia ingin menjadi ketiganya; pebasket dunia, penyanyi legendaris, dan pembalap hebat. Ayah Vettel, Norbert, dan ibunya, Heike, tidak ingin mematikan mimpi itu dengan menertawakannya. Mereka memberi ruang agar mimpi Vettel tumbuh dalam jiwanya; menjadi cita-cita, menggerakkan langkah demi langkah untuk mengubahnya menjadi nyata. Meskipun mereka tahu postur Vettel tidak mendukung untuk basket, suaranya juga tidak cukup menjadi modal sebagai penyanyi. Belakangan, Vettel juga menyadarinya. Dari sana impiannya lebih fokus: menjadi pembalap nomor satu!

Bukan sekedar membiarkan impian anaknya tidak mati, Norbert memupuk impian itu agar tumbuh besar. Diantara hal yang paling diingat Vettel kelak adalah hadiah gokar Bambini 60 cc yang diterimanya dari sang ayah saat usianya baru tiga tahun. Vettel bukan hanya mendapat ruang. Ia mendapat dukungan. Ia memperoleh motivasi. Keyakinannya menancap kuat. “Aku pasti bisa!”

Impian yang diucapkan anak kecil lebih dari dua dasawarsa sebelumnya itu menjadi kenyataan seminggu lalu. 14 November 2010, tepat pada usia 23 tahun 134 hari, Sebastian Vettel menjadi juara dunia F1 termuda sepanjang sejarah setelah memenangi balapan di Abu Dhabi. Kini ia juga dijuluki sebagai “Baby Schumi” atau “Michael Schumacher Baru”. Subhaanallah, betapa persis dengan impiannya.

Dunia Islam dewasa ini juga memiliki tokoh besar yang berangkat dari impian di masa kecil. Namanya Ahmad Zewail. Seorang doktor yang menjadi salah satu ilmuwan besar dunia. Pada tahun 1999, DR. Ahmad Zewail meraih penghargaan Nobel bidang kimia. Memaparkan prestasinya, Saudi Aramco World menulis executive summarybegini: “Born in the Nile Delta, Ahmed Zewail became the first scientist to record molecules while they were undergoing chemical reactions that take place in a few millions of a billionth of a second. This established the field of femthochemistry and earned him the 1999 Nobel Prize in Chemistry. In November, he was appointed one of the first three us Science Envoys to Middle East.”

Satu hal yang perlu dicatat, sang ibu menumbuhkan dan memupuk impian Ahmad Zewail sejak dini. Yang paling berkesan, sejak masih anak-anak pintu kamar Zewail diberi papan bertuliskan: Kamar DR. Ahmad Zewail. Subhaanallah, betapa impian itu kini menjadi nyata.

Anak-anak kita mungkin memiliki impian yang setara dengan Sebastian Vettel atau Ahmad Zewail. Atau bahkan melebihi itu semua. Berbahagialah. Itu hal yang baik. Semestinya ada. Sangat tidak tepat jika kita justru mewariskan kerdil obsesi yang menjangkiti banyak orang dewasa. Bukankah manusia hanya akan mengusahakan hal-hal yang dianggap mungkin oleh pikirannya? Maka impian tinggi buah hati kita akan meninggikan kualitasnya, insya Allah. “Sesungguhnya,” kata M. Lili Nur Aulia dalam Mimpi-mimpi Besar, “mimpi dan obsesi seseorang yang besar, indikator ia akan menjadi orang yang besar.”

Selama impian itu tidak salah dalam standar keimanan, kita hanya perlu memupuknya. Memotivasinya, mendukungnya, dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mencoba. “Ketika kita memberi anak kesempatan untuk mencoba,” M. Fauzil Adhim meyakinkan dalam Saat Berharga untuk Anak Kita, “hasilnya sangat menakjubkan.” Wallaahu a’lam bish shawab. [Muchlisin]

Artikel ini juga dimuat di www.alummahgresik.com]