dakwatuna.com - (David Hadi) Melakukan keikhlasan, tidaklah semudah mengatakannya. Sebagaimana pernah diakui oleh seorang ulama besar Sufyan ats-Tsauri, beliau berkata, “Tidak ada suatu perkara yang paling berat bagiku untuk aku obati daripada meluruskan niatku, karena niat itu bisa berubah-ubah terhadapku.”
Namun, bukan berarti ikhlas itu tidak dapat dilakukan, dan bukan berarti ikhlas tidak dapat diusahakan. Karena ikhlas adalah suatu ‘ilmu’. Ilmu di mana kita dapat mempelajarinya, dan terus mempelajarinya, sampai akhirnya kita benar-benar paham akan makna ikhlas. Ikhlas itu sendiri merupakan hal yang amat sakral, ia adalah perintah dan ia adalah syarat diterimanya suatu ibadah.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Memang benar, ikhlas adalah rahasia, rahasia dalam hati masing-masing insan. Dan ikhlas adalah rahasia dari rahasia yang teramat lembut, sehingga samar dari dugaan semua yang hidup. Begitu samar dan tersembunyi, sehingga sulit bagi diri seseorang atau orang lain untuk mengukur kemurniannya. Dalam hadits Rasulullah SAW dikatakan:
“Keikhlasan adalah rahasia yang diambil dari rahasia-rahasia-Ku. Aku telah menempatkannya sebagai amanat di hati sanubari hamba-hamba-Ku yang Aku Cinta.” (HR. al-Qazwaini)
Hasan al-Banna pernah berkata tentang makna ikhlas, “Ikhlas adalah seorang saudara muslim yang bermaksud dengan kata-katanya, amalnya, dan jihadnya, seluruhnya hanya kepada Allah, untuk mencari ridha Allah dan balasan yang baik dari Allah dengan tanpa melihat kepada keuntungan, bentuk, kedudukan, gelar, kemajuan, atau kemunduran. Dengan demikian ia menjadi tentara aqidah dan fikrah dan bukan tentara keinginan atau manfaat.”
Salah satu sebab jauhnya diri kita dari ikhlas ialah sifat ‘ujub, sifat berbangga diri yang berlebihan, dan menganggap orang lain tidak lebih baik dari diri kita. Sifat ini yang sering muncul tanpa kita sadari, yang mampu merobek-robek keikhlasan dalam diri kita. Ia yang mampu menodai kemurnian ikhlas dalam hati dan ia yang mampu mengotori hati dengan lendir-lendir kenistaan.
Tentunya kita tak ingin, keikhlasan yang ada di dalam hati ini, keikhlasan yang selalu kita jaga ini, ternodai dan bahkan terkotori. Dan hal yang dapat kita lakukan untuk menjaga keikhlasan adalah dengan menghapus sifat ‘ujub itu dari dalam hati, membuangnya jauh-jauh tanpa tersisa. Dimulai dengan hal yang kecil dan sederhana, yaitu anggaplah orang lain lebih baik daripada diri kita, anggaplah ia lebih mulia di sisi Allah.
Jikalau kita melihat seseorang yang lebih muda daripada kita, maka hendaklah kita berkata, “Anak ini masih muda usianya, belum banyak berbuat dosa dan bermaksiat kepada Allah, sedangkan aku yang sudah lebih tua darinya tentu telah banyak berbuat dosa dan bermaksiat kepada Allah. Maka tiada keraguan lagi bahwa ia lebih baik daripada aku di sisi Allah.”
Jikalau kita melihat seseorang yang lebih tua daripada kita, maka hendaklah kita berkata, “Orang tua ini sudah beribadah kepada Allah lebih dahulu daripada aku, maka tiada keraguan lagi bahwa ia lebih banyak pahalanya, lebih mulia daripada aku di sisi Allah.”
Manakala kita melihat orang alim, maka hendaklah kita berkata, “Orang alim ini telah dikaruniakan kepadanya bermacam-macam pemberian ilmu yang tidak dikaruniakan kepadaku. Ia telah sampai ke martabat yang aku tak sampai kepadanya, dan ia mengetahui berbagai masalah yang tak aku ketahui, maka bagaimana aku bisa sepertinya sedangkan diriku masih bergelimang dengan dosa dan maksiat?”
Bila kita melihat orang yang bodoh, maka hendaklah kita berkata, “Orang ini bodoh lantas ia berbuat maksiat kepada Allah dengan kejahilannya, tetapi aku berbuat maksiat dengan ilmuku, dengan kesadaranku, maka bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah nanti?”
Saat kita menyaksikan orang fasik atau ahli maksiat, maka hendaklah kita berkata, “Benar orang ini jasadnya bergelimang dalam kemaksiatan dan dosa, tapi siapa yang tahu kalau sebenarnya hatinya selalu benci pada kemaksiatan yang ia lakukan, dan bersamaan dengan itu ia tetap mengagungkan Tuhannya. Terbuka kemungkinan suatu saat nanti ia bertaubat dan menyesali perbuatannya, lalu ia melakukan amal shalih yang nilainya lebih tinggi di mata Allah daripada aku. Sedangkan aku sendiri sampai saat ini dan nanti, tidak pernah tahu apakah ketaatanku itu diterima oleh Allah atau tidak. Dan aku juga tidak pernah mengetahui apa yang akan terjadi pada diriku esok hari.”
Di kala kita melihat orang kafir, maka hendaklah kita berkata, “Aku tidak tahu, kemungkinan orang kafir ini akan beriman, memeluk agama Islam dan akhirnya mempunyai husnul khatimah, sedangkan aku tidak tahu apakah akan bisa menjaga keimanan ini hingga akhir hayat dan mendapatkanhusnul khatimah?”
Pertanyaan seperti ini bukan mengada-ada, tapi pasti dan yakin. Karena jika kita bertanya, siapakah yang dapat memastikan kalau kita dapat menjaga keimanan ini hingga akhir hayat, lalu kita memperoleh husnul khatimah? Siapa yang bisa tahu secara pasti kalau dirinya pasti diampuni oleh Allah? Siapakah yang dapat menjamin kalau diri kita pasti selamat di akhirat? Semua itu adalah rahasia Allah, yang tiada seorang pun yang dapat mengetahuinya. Bahkan beliau, Rasulullah SAW berkata:
“Katakanlah: Aku tidak mengatakan padamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah, ‘Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?’ Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (QS. Al-An’aam: 50)
“Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-‘Araaf: 188)
—
Referensi: Mahmud Ahmad Mustafa, Dahsyatnya Ikhlas.